CERBUNG - 1
Langkah Qisthy
Bismillah.
Tepat 1 Muharam, beberapa tahun silam seorang gadis mungil pernah berandai dalam setiap lamunannya. Di sebuah rumah pohon, pada salah satu dahan pohon manggis yang sangat rimbun. Qisthy Anisah, gadis manis bermata sipit dengan lesung pipi menghiasi indah senyumnya. Ia ingat betul hari itu adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya. Sebab tujuh tahun yang lalu ia dilahirkan. Ya, ia berulang tahun hari itu. Entah serumit apa hal yang tengah ia andaikan, garis pelipisnya tampak berkerut tanda ia berpikir keras. Kemudian ia tersenyum sambil bergumam di dalam hati, "mampukan aku, Ya Allah!"
Dengan penuh semangat, Qisthy berhati-hati menuruni setiap anak tangga yang menghubungkan rumah pohon dengan hamparan tanah di sebuah kebun manggis milik kakeknya itu. Sejenis alumunium di bagian kakinya terlihat memantulkan cahaya saat Qisthy menginjakkan kaki di anak tangga kedua terakhir. Hampir saja ia terpeleset, sebab anak tangga yang ia turuni cukup licin bahkan masih basah sisa hujan tadi malam. Ini hal biasa bagi Qisthy, terjatuh bukanlah hal yang menakutkan baginya.
Kakek Qisthy memanggilnya sejak tadi, itu sebabnya ia segera turun dari rumah pohon untuk menemui sang kakek. Bukannya Qisthy tak mau menyahut panggilan sang kakek, tapi itu hal yang percuma sepertinya. Kakeknya sudah tua memang, jadi pendengarannya sudah mulai berkurang. Tak jarang Qisthy kesulitan kala berbicara dengan kakeknya, bahkan sambil agak berteriak. Bukannya tidak sopan, tapi memang kakeknya tidak akan mendengarnya jika Qisthy berbicara tidak dengan suara keras.
"Ada apa, Kek?" tanya Qisthy sambil berlari ke arah kakeknya. Kakek tersenyum sambil menunjuk ke atas dipan sejenis bale tempat Qisthy dan kakek neneknya bercengkrama, "Sarapan dulu, gadis kecilku," kata kakek sambil terkekeh. Ini rutinitas pagi di gubuk tua itu memang. Qisthy sudah dibuatkan sarapan ubi rebus dan teh manis oleh kakek tercintanya. Tanpa menunggu lama, langsung ia duduk di bale. Tangan kanannya segera mengambil ubi rebus di atas piring seng diikuti dengan tiupan kecil dari mulutnya, berharap ia segera menyantap ubi rebus yang masih panas itu.
Qisthy menyuapkan potongan ubi rebus di tangannya. "Eh eh eh. Kenapa ditiup-tiup gitu, Qi. Belum baca basmalah juga kan, hayooo." Kakeknya menegur lembut. "Hehe. Iya, Kek. Lupa. Hehe"
Qisthy melanjutkan sarapannya, dengan mengipas-ngipas ubi rebus. "Kan, kata Kakek tidak boleh ditiup makanannya." Dengan suara pelan Qisthy bergumam. "Bismillah. Nyam, nyam, nyam.. Emh, ennnnyaak Kek. Hehehe" mulut mungilnya dipenuhi ubi rebus hangat, sambil jempol tangan kanannya teracung tanda ia senang dengan sarapannya pagi ini.
Selesai menemani Qisthy sarapan, sang kakek meninggalkan gadis kecilnya, memasuki sebuah kamar kecil di gubuk itu. Kakek mencium kening seorang nenek yang sudah uzur sambil berkata, "Ayo Is, aku bantu kamu keluar ya. sudah kusiapkan sarapan dan dipan untukmu berjemur." Tanpa menunggu persetujuan, kakek membantu sang nenek keluar dari kamar itu, menuju ke belakang gubuk tempat nenek berjemur biasanya.
"Kakek ke kebun jagung dulu ya, Qi. Kamu jaga nenek dengan baik. Sejak salat subuh tadi dia murung, sepertinya tak mau ditinggal." kata kakek terkekeh, sambil mengangkat tas karung berisi bekal dan segala perkakas untuk berkebunnya hari ini. Qisthy menjawab dengan anggukan disertai posisi hormat ala anak pramuka, yang ia lihat di lapangan belakang bukit kemarin sore, neneknya hanya tersenyum saja melihatnya. Selalu ada-ada saja memang gadis kecil ini dalam bertingkah, segala hal baru yang ia lihat pasti ditirukannya.
Kakek berpamitan, mengelus kepala cucunya setelah bersalaman, juga mengelus kepala sang nenek setelah mencium kening sang nenek ke sekian kalinya di pagi ini.
Qisthy membayangkan detail setiap kejadian di pagi itu, ia terus memandang ke depan sambil memegang buku lusuh berisi coretan-coretan anak kecil di masa lalu. Sudah banyak tahun-tahun muharam yang ia lewatkan, tak terasa juga buku lusuhnya ini sudah ia bawa kemanapun ia pergi.
Qisthy Anisah, gadis yang selalu terlihat manis dengan lesung pipinya yang kini sudah melewati masa remaja. Di atas gedung bertingkat pencakar kota, di sebuah kota metropolitan, tak lagi di atas rumah pohon di desanya. Tapi hayalnya masih jauh ke depan. Entah apa yang masih membuatnya penasaran dalam setiap langkahnya melewati setiap centi kehidupan ini.
[bersambung]