Rabu, 19 Agustus 2020

Langkah Qisthy

CERBUNG - 1

Langkah Qisthy


Bismillah.


Tepat 1 Muharam, beberapa tahun silam seorang gadis mungil pernah berandai dalam setiap lamunannya. Di sebuah rumah pohon, pada salah satu dahan pohon manggis yang sangat rimbun. Qisthy Anisah, gadis manis bermata sipit dengan lesung pipi menghiasi indah senyumnya. Ia ingat betul hari itu adalah hari paling bersejarah dalam hidupnya. Sebab tujuh tahun yang lalu ia dilahirkan. Ya, ia berulang tahun hari itu. Entah serumit apa hal yang tengah ia andaikan, garis pelipisnya tampak berkerut tanda ia berpikir keras. Kemudian ia tersenyum sambil bergumam di dalam hati, "mampukan aku, Ya Allah!"


Dengan penuh semangat, Qisthy berhati-hati menuruni setiap anak tangga yang menghubungkan rumah pohon dengan hamparan tanah di sebuah kebun manggis milik kakeknya itu. Sejenis alumunium di bagian kakinya terlihat memantulkan cahaya saat Qisthy menginjakkan kaki di anak tangga kedua terakhir. Hampir saja ia terpeleset, sebab anak tangga yang ia turuni cukup licin bahkan masih basah sisa hujan tadi malam. Ini hal biasa bagi Qisthy, terjatuh bukanlah hal yang menakutkan baginya.


Kakek Qisthy memanggilnya sejak tadi, itu sebabnya ia segera turun dari rumah pohon untuk menemui sang kakek. Bukannya Qisthy tak mau menyahut panggilan sang kakek, tapi itu hal yang percuma sepertinya. Kakeknya sudah tua memang, jadi pendengarannya sudah mulai berkurang. Tak jarang Qisthy kesulitan kala berbicara dengan kakeknya, bahkan sambil agak berteriak. Bukannya tidak sopan, tapi memang kakeknya tidak akan mendengarnya jika Qisthy berbicara tidak dengan suara keras. 


"Ada apa, Kek?" tanya Qisthy sambil berlari ke arah kakeknya. Kakek tersenyum sambil menunjuk ke atas dipan sejenis bale tempat Qisthy dan kakek neneknya bercengkrama, "Sarapan dulu, gadis kecilku," kata kakek sambil terkekeh. Ini rutinitas pagi di gubuk tua itu memang. Qisthy sudah dibuatkan sarapan ubi rebus dan teh manis oleh kakek tercintanya. Tanpa menunggu lama, langsung ia duduk di bale. Tangan kanannya segera mengambil ubi rebus di atas piring seng diikuti dengan tiupan kecil dari mulutnya, berharap ia segera menyantap ubi rebus yang masih panas itu. 


Qisthy menyuapkan potongan ubi rebus di tangannya. "Eh eh eh. Kenapa ditiup-tiup gitu, Qi. Belum baca basmalah juga kan, hayooo." Kakeknya menegur lembut. "Hehe. Iya, Kek. Lupa. Hehe"
Qisthy melanjutkan sarapannya, dengan mengipas-ngipas ubi rebus. "Kan, kata Kakek tidak boleh ditiup makanannya." Dengan suara pelan Qisthy bergumam. "Bismillah. Nyam, nyam, nyam.. Emh, ennnnyaak Kek. Hehehe" mulut mungilnya dipenuhi ubi rebus hangat, sambil jempol tangan kanannya teracung tanda ia senang dengan sarapannya pagi ini.


Selesai menemani Qisthy sarapan, sang kakek meninggalkan gadis kecilnya, memasuki sebuah kamar kecil di gubuk itu. Kakek mencium kening seorang nenek yang sudah uzur sambil berkata, "Ayo Is, aku bantu kamu keluar ya. sudah kusiapkan sarapan dan dipan untukmu berjemur." Tanpa menunggu persetujuan, kakek membantu sang nenek keluar dari kamar itu, menuju ke belakang gubuk tempat nenek berjemur biasanya.


"Kakek ke kebun jagung dulu ya, Qi. Kamu jaga nenek dengan baik. Sejak salat subuh tadi dia murung, sepertinya tak mau ditinggal." kata kakek terkekeh, sambil mengangkat tas karung berisi bekal dan segala perkakas untuk berkebunnya hari ini. Qisthy menjawab dengan anggukan disertai posisi hormat ala anak pramuka, yang ia lihat di lapangan belakang bukit kemarin sore, neneknya hanya tersenyum saja melihatnya. Selalu ada-ada saja memang gadis kecil ini dalam bertingkah, segala hal baru yang ia lihat pasti ditirukannya.


Kakek berpamitan, mengelus kepala cucunya setelah bersalaman, juga mengelus kepala sang nenek setelah mencium kening sang nenek ke sekian kalinya di pagi ini. 


Qisthy membayangkan detail setiap kejadian di pagi itu, ia terus memandang ke depan sambil memegang buku lusuh berisi coretan-coretan anak kecil di masa lalu. Sudah banyak tahun-tahun muharam yang ia lewatkan, tak terasa juga buku lusuhnya ini sudah ia bawa kemanapun ia pergi.


Qisthy Anisah, gadis yang selalu terlihat manis dengan lesung pipinya yang kini sudah melewati masa remaja. Di atas gedung bertingkat pencakar kota, di sebuah kota metropolitan, tak lagi di atas rumah pohon di desanya. Tapi hayalnya masih jauh ke depan. Entah apa yang masih membuatnya penasaran dalam setiap langkahnya melewati setiap centi kehidupan ini.

[bersambung]

Kamis, 20 September 2018


Tibanya Hari Ini
(Oleh : Usi Supinar)

Langkahnya harus berakhir disini
Genap sudah satu belum ia mengarungi perjalanan penuh khayal dan ilusi

Biarlah tak terhitung ia harus tersandung bahkan terjatuh
Setidaknya lelahpun tak membuat semangatnya luruh

Ada rasa yang tersimpan disana masih utuh
Diawali dengan keterpaksaan sebab dirasa butuh

30 Hari Berlalu
Demi asa dan harapnya
Andainya terbang tinggi berkeliaran mencari segala ilusi
Yakinkan hati dimana tempat persinggahan ia harus mencari

Sejak pertama ia tahu, ia hanya akan berjalan sendiri menapaki fatamorgana
Berani atau tidak, keharusan membuatnya tetap berada di jalur perjalanan menuju fana
Kuat atau tidak, keberadaan membuatnya tetap berjuang menghadapi goda dan lena
Yakin atau tidak, kehadiran membuatnya tetap melangkah lalui guna
Sampai atau tidak, keyakinan membuatnya tetap bergegas menjauhi sirna

Langkahnya terhenti dengan pilu sebab lelah mendaki
Cukup sudah waktu berharap ada yang membersamai
Tiba masanya untuk saling yakin bahwa takdir tak akan membohongi
Sebuah kepercayaan perlu dekapan erat agar tak saling menyakiti

Bukan tungkainya yang sakit sebab melangkah terlalu jauh
Tapi hati yang akan tersakiti jika kedekatan terus terjalin tanpa ada ikatan utuh

Bukan pundak yang sakit sebab memikul beban berat menyatu
Tapi hati yang akan tersakiti jika keegoisan menuruti nafsu terus bergejolak dan semakin membatu

Cukup sudah
Ia hanya tak bisa sendiri dalam langkah selanjutnya, itu saja!

Bandung, 20 September 2018_ 23:53


BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com

#30DWCJILID14
#SQUAD7
#DAY30
#Bismillah

Allah Maha Membersamai. :)

Rabu, 19 September 2018


Jika Esok Tiba
(Oleh : Usi Supinar)

Esok…
Ia harus relakan masa perpisahan
Betapa berat beban yang harus ia pikul sendiri
Tanpa yang menemani
Tanpa yang membersamai

Kawan… Tahukah kau?
Asa demi asa penuh cinta telah ia rangkai terlampau
Setidaknya kau sempat membuatnya terpukau

Kawan… esok akan tiba
Ia cemas sejak kini dan tak mungkin harus mengiba
Maaf jika ia tak mampu menjadi yang kau damba
Setidaknya ia tak akan keluhkan segala iba

Jika esok tiba,
Hanya satu yang ia harap
Kau tak akan pernah meratap
Sebab ia tengah berusaha tak mengungkap
Bahwa ia kepadamu penuh harap

Lagi-lagi sebuah harap
Harapan untuk saling menemani
Harapan untuk saling membersamai

Setidaknya…
Biarpun ia kelelahan,
Ia memiliki sebuah sandaran
Kala ia kebingungan,
Ia mendapatkan arahan
Saat ia berada dalam titik keterpurukan,
Ada kau yang dengan semangat mampu membangkitnkan.

Kawan…
Jangan pernah menyesal jika esok tiba
Semoga kau tak pernah marah jika esok telah tiada
Kenanglah ia,
Seperti ia yang selalu mengenangmu penuh cinta
Ingat ia,
Seperti ia mengaingatmu penuh asa

Semoga Rabb-mu mempersatukan kau dan ia dalam harap penuh damba
Semoga. Dan selalu tersemogakan.


Menanti Esok, 19 September 2018_23:34

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com

#30DWCJILID14
#SQUAD7
#DAY29
#Bismillah

Allah Maha Mempersatukan. :)

Selasa, 18 September 2018


Bulan Tak Pedulikannya
(Oleh : Usi Supinar)

Malam semakin larut
Sedangkan matanya tak juga luput
Ia putuskan untuk keluar dari bilik tersudut
Biar saja tubuhnya membawa angannya hanyut
Biar saja pikirnya berkeliaran mencari sebuah cahaya tak berkabut

Pencariannya berhenti di sebuah lembah penuh dahaga
Tersinari redupnya bulan malam ini
Mungkin bulan lelah melihat keterpurukannya
Mungkin bulan bosan mendengar segala keluhnya
Mungkin bulan muak jika harus memahami egonya

Bulan semakin mendung kala ia
mengadukan keluhnya
Bulan seakan tak peduli pada dirinya yang tengah berkabung
Bulan tak pernah tahu kabungnya akan sanubarinya

Cukup sudah ia lelah di siang penuh gundah
Tak bolehkah ia tenang dalam malam damai?

Ia bersandar pada gelapnya malam,
Sayang sang bulan tak membuatnya damai, hanya kelam.

Tak sadarkah ia betapa bulan sama sekali tak akan pernah mampu hilangkan gundah di hatinya
Tak akan pernah kabulkan segala harap di hatinya
Tak akan pernah bisa hadirkan damai di hatinya
Tam akan pernah!

Lantas, pada siapa ia adukan segala sakit ini?
Cukup langit tak menganggap keberadaannya
Matahari hanya menertawainya
Juga kah, bulan tak menanggapinya?

Bulan... pada siapa dia harus curahkan segenap rasa?
Kala hati gundah gulana
Kala akal tak berguna
Kala lahir dan batinnya jauh dari kata sempurna.

Bulan... Tunjukkan padanya sosok yang mampu hapuskan luka!
Belum ia sadari, Rabb-nya Penuh Cinta Mengawasi.


Malam Kelam Pedalaman Bandung, 18 September 2018_22:34

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com

#30DWCJILID14
#SQUAD7
#DAY28
#Bismillah

Allah Maha Memerhatikannya. Biarpun ia hanya memerhatikan sesama makhluk-Nya. :)

Senin, 17 September 2018


Biar Matahari Menertawainya
(Oleh : Usi Supinar)

Terik cukup sudah membuat peluh bercucuran, tanda ia melewati titik lelah
Langkahnya gontai melemah
Di hatinya bertanya,
Mengapa ketidakadilan seakan selalu mendekap setiap langkahnya
Bumi mungkin tak terima keadaannya
Langit pun seakan geram siang ini, membakar amarah yang tak tertahankan

Ingin ia berteriak
Kala langkah terhenti sebab kakinya mulai membengkak
Jerih payahnya belum ia rasakan manisnya, apakah bumi terlalu congkak?

Matahari siang ini seakan menertawainya
Mungkin ia terlalu bahagia atas penderitaan sosok manusia yang tengah terseret dalam kepayahannya
Silaunya hanya membuat si payah semakin gelap tidak terlihat oleh setiap makhluk di sekitarnya?
Terlalu hinakah dirinya?
Hingga ia seakan tak dianggap di muka bumi ini.

Hanya mengadu pada Rabb-nya yang mampu ia lakukan kini
Hanya ada sebuah keyakinan disana,
Rabb-nya akan berbaik sangka kepadanya, jika ia berbaik sangka pada Rabb-nya.
Rabb-nya akan mengingatnya kala ia susah, jika ia mengingat Rabb-nya kala senang
Rabb-nya akan meridhoi amalan kerdilnya, jika ia ridho atas nikmat yang kecil
Ia terus menguatkan tekadnya, Rabb-nya akan menjaganya kala Allah terjaga di hatinya

Tak henti ia menengadah, berharap Rabb-nya kabulkan segala harap
Berharap payahnya terjawab indah
Biarlah terik tak pedulikan pengaduannya
Toh ia tak pernah mengadu pada seisi langit,
Ia hanya mengadu pada Sang Penguasa Langit. Rabb-nya.


Lagi-lagi matahari seakan menertawainya
Karenakah terlalu kelam masa lalunya?
Lebih kelamkah hingga mengalahkan kelamnya awan hari kemarin?

Matahari terus menertawainya
Seakan puas dengan keterpurukan si payah di hembus angin gersang
Teriknya terbahak melihat kecemasan yang mulai porak porandakan  harapan yang mulai usang

Cukup sudah ia menengadah,
Cukup sudah ia melihat kepuasan matahari yang tak henti menertawainya
Cukup Allah. Rabb-nya Yang Maha mengerti keterpurukan dalam harapnya.

Di Tengah Perjalanan Menempuh Terik Tak Berujung, 17 September 2018_11:28

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com

#30DWCJILID14
#SQUAD7
#Day27
#Bismillah..

Biarlah Matahari Menertawainya. Biarlah Allah Yang Maha Memahami-nya.. :))

Minggu, 16 September 2018


Langit, Jangan Acuhkan Ia
(Oleh : Usi Supinar)

Tingginya langit tak mungkin sanggup ia gapai
Dalamnya lautan juga tak mampu ia selami
Katanya…
Cita-citanya setinggi langit
Sayangnya,
Namanya tak kunjung melejit
Katanya…
Nalarnya sedalam lautan
Sayangnya,
Hanya akal liar dalam ketersesatan

Langit nampak garang, seakan tak ijinkan ia memiliki asa
Asanya yang kian hari kian meninggi, mungkin terbawa angin sampai binasa
Gelombang tinggi siap menerjang kekokohan batinnya dalam keyakinan yang tersisa
Terhempas ia, ketika nahkoda tak sanggup kendalikan sampan yang di luar kendali kuasa
Tubuhnya terjatuh hingga ia terjerembab dengan wajah menghadap langit

Berharap langit mengasihaninya, biar sekadar sampaikan asanya menuju Rabb-nya.
Tingginya langit tak sebanding dengan khayalan tinggi penuh ketidakmungkinan menuju Rabb-nya.
Hatinya busuk, akalnya kerdil. Hanya mampu gantungkan asa pada awan kelam yang tinggi
Wajar Rabb-nya tak menanggapi, jelas ia hanya menuruti nafsu dengki.

Kemana nasib akan membawa sampannya berlabuh?
Apakah menuju tempat peristirahatan yang jauh?
Atau mencarikan tempat yang teduh?

Demi menggapai langit ia percepat kemudi sampan
Biarpun tetap, batinnya tertinggal
Hanya asa yang jauh melesat ke awan
Nalurinya masih tenggelam di laut dangkal

Ia memekik karena terik
Langit acuh, tak peduli ia rasakan sakit
Langit hanya berucap padanya bahwa ia salah diam di atas rakit
Percuma tubuh bergeming disana, sedangkan seyogyanya semua akal telah pamit

Jauh akalnya berkeliaran dan tertinggal di masa kelam

Ombak kembali menghempas keras
Sampai tersungkur ia di atas cadas
Langit tak pedulikan
Hanya nanar, berharap Rabb-nya menolongnya agar tak terdampar di tengah lautan kelam.

Dalam Keterdamparan, 16 September 2018_11:55

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com