Selasa, 26 September 2017

Masih adakah Kau untukku???
Buah Pena: Usi Supinar

Aku tak tahu, berapa ribu maaf yang harus kuucap
Aku tak faham, berapa lama aku harus memohon ampunan
Bahkan.. aku tak mengerti, mengapa aku tak punya malu telah melakukan ini yang jelas-jelas Kau tahu. Ini salah. Ini jahat. Ini biadab!

Kini aku hanya bisa menyesal
Menahan nafas tersenggal
Memaki
Meratapi semua yang telah terjadi
Menghujat
Mengoyak amarah sisa maksiat

Mengapa tak Kau tunjukan kemarahanMu kepadaku saat ini juga?
Apa karena Kau bosan marah kepadaku?
Atau sudah tak Kau anggap lagi posisiku sebagai hamba-Mu?
Mungkin Kau t’lah lupakan aku?
Saking besar dan banyaknya kealfaanku, sehingga menutupi pandangan-Mu kepada-Ku. Manusia yang tak tahu diri ini. Manusia yang tak tahu malu ini. Manusia yang terus menerus dan terus melakukan dosa demi dosa. Demi kepuasan nafsu belaka. Demi mengekar fatamorgana.
Gila kurasa!
Aku telah gila dibuai bayang-bayang indahnya dunia, yang bahkan aku tak tahu di sebelah mana ujung dari keindahan ini. Kebiadaban ini.

Seandainya Kau masih pedulikan aku. Apakah Kau tak akan berpaling dariku?
Aku malu...
Aku malu Jika Kau terus menatapku, dalam keadaan aku masih berbalut kemunafikan. Kebiadaban.
Aku ragu...
Aku ragu apakah Kau masih ada untukku? Membiarkanku berada di tepi jurang penderitaan.
Aku... takut!
Takut... Kau tak akan menolongku...di detik terakhir...langkah... menuju jurang curam itu,


Jatinangor, 11 Juni 20017


Gunung Dosaku
Buah Pena: Usi Supinar


Air mengalir dalam wudlu mungkin tak mampu sucikan kembali segala noda
Desir nadi berdzikir mungkin tak sanggup hapuskan segala dosa
Pegal dan lelah menempelkan wajah ke bumi dalam sujud mungkin hanya sepi yang menjadi saksi
Kata demi kata dalam alunan ayat suci mungkin hanya sekedar suara yang tak sekedarpun menggetarkan nurani

Aku malu, Ya Robbi.
Betapa luput dosa dan khilapku
Menghujam nadi mencabik qolbu
Betapa rendah amal nan shalehku
Menutup lupapun ia tak mampu
Sungguh…
Betapa hina diri ini
Penuh dosa,
Penuh noda,
Penuh khilaf dan kemunafikan.

Akankah serpihan dzikirku mengingat nama-Mu menjulangkan neraca di yaumil hisab?
Aku takut gunung dosa di masa lalu itu memberatkan dawai sebelah kiri sehingga aku tak layak melanjutkan langkah.
Akankah sedikit amalku dapat mengokohkan langkah melewati curamnya shirotolmustaqim?
Aku takut licinnya akal nakalku di masa lalu itu membuatku tergelincir, terperosok ke dalam jurang jahannam.

Aku malu.. sungguh malu…
Bukan hanya sekedar dengan makhluk-Mu
Tapi kepadamu, yang setiap detik melihat, menatap, menyaksikan dan memperhatikan naluri busukku.
Sungguh.. maafkan aku, Ya Robbi.


Jatinangor, 22 Agustus 2017

Sabtu, 23 September 2017

Terseret Kemunafikan
(Oleh: Usi Supinar)

Larut malam menenggelamkan kelamku
Tidak.
Ia tak mampu sedikitpun menutupi luka
Yang kurassa justru lukaku semakin menganga
Desir angin malam pun nampaknya tak mampu hembuskan kesejukan sedikitpun
Terlalu dingin mungkin.
Maka angin tak sanggup tepiskan luka

Terkadang aku bingung
Mengapa Tuhan ciptakan rasa dengki di hati setiap hamba-Nya?
Sedang seorang hamba disini tak sanggup disesakkkan rasa itu
Kurasa aku mulai terseret dalam kemunafikkan jiwa
Berpura-pura tegar dihadapan setiap lawan bicara
Namun hati dan rasa tercabik dalam derita
Setiap saat ia tertusuk oleh hentakan emosi yang meluap
Ia tak sanggup menahan setiap tekanan yang menghimpit ruangnya
Mungkin esok atau lusa ia akan kembali meledak
Mengalirkan lahar dari luapan emosi dan penderitaan
Adakah lawan bicara yang mampu meredam ledakannya?
Terseret di Halaman Rumahku
Oleh: Usi Supinar

Kemarin, sambil duduk di halaman rumahku angin redup nan sejuk menggelitik qolbuku
Sekarang, dengan berdiri di halaman ini angin gersang nan muram nyaris mengejarku
Esok kutakutkan, halaman itu akan gelap nan kelam membuatku tersandung hingga terjatuh

Membentang pagar amarah di ujung barat dan selatan. Menghalang harapan demi harapan
Menghimpit narasi demi narasi tak berarti. Memekik betapa pahit emansipasi negeri ini
Katanya... Aku telah merdeka. Nyatanya... Aku masih tersiksa dalam pengapnya tawa
Katanya... Aku berhak memilih beribu cita-cita. Nyatanya... Berkatapun aku tak kuasa

Benarkah di halaman rumahku ini tengah menggarap perang ideologi?
Demi mengolah ladang kapitalis?
Memporakporandakan lahan komunis dan islam, Menukarkan agama dan moral
Dengan pemboikotan serangan pemikiran
Aku merasa terseret oleh kontener-kontener pengangkut hasil ladang kapitalis
Halaman rumahku kini terjajah, meski tanpa pengiriman pasukan militer
Aku khawatir... Akankah terjadi depopulasi di halaman rumahku?

Maaf. Tak ada maksud kulukai hati dan perasaanmu, wahai penguasa bangsa
Aku hanya berusaha ungkapan betapa gersang halaman rumahku yang tak kunjung mereda
Maaf. Tak tega aku melihat halaman rumahku terbakar, meregang kesakitan
Sedang tuan rumah di dalamnya terseok terbawa angin gersang musim kemarau di ladang kapitalisme

(Sumedang, 11 Mei 2016)