Rabu, 29 November 2017

Tanpa-Mu Aku Tak Mampu
(Oleh: Usi Supinar)

Mengukir mimpi
Mengukirkan kisah hidupku
Menghapus luka
Menghapuskan kehampaan yang telah lalu
Aku hanyalah aku
Aku tanpa-Mu bukanlah aku
Aku tanpa-Mu mati bagiku
Aku adalah aku
Aku bersama-Mu ialah aku
Aku bersama-Mu hidup bagiku
Tak mampu aku tanpa-Mu
Karna tanpa-Mu aku ‘kan ragu,
Haru,
Pilu,
Kaku.
Tanpa-Mu ku tak ‘kan mampu
Ya, tak mampu!
Belum mampu
Tak mampu
Tak akan mampu
Tak akan pernah mampu
Tak mampu hidup tanpa-Mu
Namun aku tahu
Aku tak punya malu
Kau menciptakanku penuh cinta
Tapi aku lebih mencinta yang Kau murka

Masih adakah cinta untukku?
Seorang hamba-Mu yang hina dina


Jatiangor, 10 Maret 2016
Aku Cemas
(Oleh: Usi Supinar)

Goresan tinta ini
Goresan perasaanku
Menorehkan kesenduan
N’tah kecemasan

Cemas akan semakin besarnya tumpukan dosaku
Cemas akan menipisnya amalan sholehku
Cemas akan kelamnya masa laluku
Cemas akan datangnya ajalku

Akankah masa depanku seindah harapan?
Sungguh... aku cemas...
Aku takut Allah telah memanggilku untuk kembali pada-Nya
Kembali sebelum menggapai cita-cita
Kembali sebelum menimbun amal baik
Kembali sebelum menaubati dosa-dosa
Kembali di saat aku dalam cemas
Sungguh... aku cemas...


Jatinangor, 28 Agustus 2016
Butiran Pasrah
(Oleh: Usi Supinar)

Desir angin semilir di bawah bukit burangrang malam hari yang mendung dan murung
Cukup menyelinapkan oksigen ke dalam sesaknya paru-paru
Detak jantung terhenti sekejap akibat sakit yang digoreskan sesama makhluk

Mengapa masih kuungkapkan jua semua kesakitan ini pada makhluk-Mu, Ya Rabb.
Padahal sudah jelas mereka tak hak mengabulkan besarnya harapanku
Sampai kapan kupasrahkan semua keresahan ini pada makhluk-Mu, Ya Rabb.
Sedangkan kepastian selalu ada dalam genggaman kekuasaan-Mu.

Wahai Rabb. aku lelah tanpa pasrah
Aku lengah tanpa pasrah
Aku resah tanpa pasrah
Aku gundah tanpa pasarah
Dan kini, aku padamu hanya memiliki butiran pasrah

Aku resah ketika harus kuulangi sekelumit sakit ini
Aku gundah saat harus merasakan cabikan dalam hati
Kamu tahu aku sakit
Kamulah yang mengingatkan dengan membuatku bangkit
Kamu tahu hatiku aku tercabik
Kamulah yang menyembuhkan dengan Maha Baik

Kaki Gunung Burangrang Purwakarta, 26 November 2017


Harus kemana aku?
(Oleh: Usi Supinar)

Tiap langkahku menapaki  centi-centi keindahan alam
yang Kau ciptakan penuh cinta
Tiap hembus nafaskku menghirup butir-butir suci gas
yang Kau tiupkan penuh kasih
Tiap gerik gerak tubuhku mengusik sesak-sesak isi bumi
yang Kau persatukan penuh rasa sayang

T’lah kulangkahkan kaki hina ini ke jalan yang tak Kau ridloi
T’lah kuhembuskan nafas busuk ini tanpa mengingat Engkau, Sang Illahi
T’lah kugerakkan tubuh rapuh ini demi maksiat yang tak pernah sampai ke ujung perjalan

Saat ini, detik ini.... aku malu pada-Mu Ya Robbukumulhaq, Ya Malikkulhaq, Ya Illahilhaq
Tanpa rasa malu aku t’lah menodai kesucian alam ini, bumi ini, tubuh ini, diri ini, hati ini,
Menodai cinta suciku pada-Mu

Maafkan hamba-Mu yang hina ini
Ampuni Ya AllaH!!!! Ampuni Aku.
Alamku hancur karna kegilaan ini,
keserakahan,
kebencian,
kenistaan,
kedzaliman dari diri hina ini
Maafkan hamba-Mu yang nista ini Ya Rabb
Ampuni aku Ya Allah!!! Aku mohon Ya Rabb
Karna aku tak tahu harus kemana aku berpulang

Harus kemana aku kembali!?
Harus kemana aku mencari!?
Harus kemana aku mendaki!?
Harus kemana aku menyelami!?
Harus kemana aku meratapi!?
Harus kemana aku mencari jati diri!?
Sedang jati diri tak lagi kutemui, tak lagi singgah di dalam hati



Jatinangor, 10 Maret 2016

Selasa, 28 November 2017

---Aku Disini---
(Oleh: Usi Supinar)

Andai kau mengerti perih dan sakit ini, pasti kau ada di sampingku mendekap tubuh lemahku
Tapi semua terlanjur sirna, mungkin rasa mu pada harapku terlanjur tertutup ragu
Sakit t'lah lumpuhkan harapku

Andai kau tahu arti lelah dan peluh ini, pasti kau ada di dekatku mengusap setiap tetes keringat yang jatuh
Tapi semua terlanjur pergi, mungkin sangka mu pada harapku terlanjur terbakar cemburu
Peluh t'lah matikan asaku

Andai kau tahu. Aku disini menantimu. Aku disini membutuhkanmu. Aku disini ingin lebih dari sekedar bersamamu.
Aku disini.

Jatinangor, 14 November 2017
BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
---Sombong dengan Kebusukan---
Oleh: Usi Supinar

Aku lelah... Langkahku mulai melemah
Aku letih... Nafaskupun semakin perih
Adakah yang mampu kuatkan langkahku??
Adalah aku yang tak sanggup lagi menapaki penderitaan ini...

Kekecewaan itu hinggap hilir berganti, aku malu. Mengapa mereka mencibirku. Seakan akulah bahan celaan Hina mereka.
Kuakui.. aku hina di mata-Nya. Tapi apakah hanya aku???
Bukankah manusia tempat salah dan lupa.
Tak ayal tempat sampah, pastinya berisi sampah.
Kita hina. Tapi congkak dengan kehinaan itu.
Kita busuk. Tapi sombong dengan kebusukan itu.
Tak punya malukah kita???

(Jatinangor, 6 Oktober 2017) 18.11
BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
---Untuk Kita Kenang---
(Oleh: Usi Supinar)

Ditemani deru ombak
Disertai desir semilir angin
Disini.. bersamamu..
Aku dan kamu, kita... bersama
Menjalin janji, perkuat hati
Ingin dan harap.. kita menjadi satu

Pun.. aku mulai cemas, takut akan senja yang hembuskan angin kerinduan, sampaikan rasa sakit atas nama rindu

Bukan masalah karna tak ada asa dan harapan
Namun jiwa tak untuk dipisahkan
Kurasa.. masih ada secercah harapan
Untuk kita persatukan
Untuk kita rindukan
Untuk kita kenang

Kurasa cukup perjuanganku bersamamu
Bersama menjalin asa
Asa dalam sebuah angan
Angan menggapai harapan  untuk kita tetap bersama

Namun.. apa daya kawan,
Waktu kan pisahkan jua
Jarak kan jauhkan kita.

Pangandaran, 3 Februari 2017
BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
-Asa Bersamamu-
(Oleh: Usi Supinar)

Disaksikan rumput berselimut di pagi penuh kabut
Rumput ramaikan asanya
Kabut sejukkan hatinya
Kau tahu mengapa?
Itu karna ada cinta diantara kita
Yang menjalar, mengikuti nadi, centi demi centi naluri mengingat namamu

Dinaungi terik mentari di siang hari
Angin berhembus hantarkan asanya
Cahaya terangi hatinya
Kau tahu mengapa?
Itu karna ada rasa diantara kita
Yang menyertai, mengikuti langkah demi langkah perjuanganku menggapai namamu

Diiringi semilir angin senja
Lembayung hangatkan asanya
Langit redup sejukan hatinya
Kau tahu mengapa?
Itu karna ada harap diantara kita
Yang menyelusup, mengikuti degup jantungku, terselinap namamu setiap saat ia berdetak

Diselimuti gelapnya malam
Rembulan mendekap asanya
Bintang perindah hatinya
Kau tahu mengapa?
Itu karna ada rindu diantara kita
Yang mnedekap hangat rekatkan namamu di qolbuku

setiap waktuku adalah asa untukmu
Asa menjalin kebersamaan denganmu

Harapku..
Kuharap.. kau kan selalu sertai langkahku

Usi, Jatinangor 2017
BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
---Dalam Menunggumu---
(Oleh: Usi Supinar)

Rintik hujan basahi biru jilbabku.
Ia menyatu dengan tangis dan haru.
Udara dingin pun menyusup pada tulang rusukmu.
Ia menyatu dengan detak kaku cemburu.

Kemana rasa ini harus kuungkapkan??
Aku lelah tanpa sandaran
Aku tak berdaya tanpa penopang

Lekaslah tiba duhai penguat jiwa
Aku menunggumu pun dengan sepenuhnya jiwa

Masa ini kutunggu kehadiranmu meyakinkan masa depanku.

(Jatinangor, 9 Oktober 2017)
BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
---Hati yang Usang---
Oleh: Usi Supinar

Pagi sejuk dengan kelembutannya
Siang terik dengan kecerahannya
Sore teduh dengan keanggunannya
Malam dingin dengan ketenangannya

Hati... Tenang? Sudahkan dengan ketakwaannya???
Malu rasanya.. Ia fakir. Ia kikir.
Sakit rasanya. Ia gersang. Ia usang.

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
Jatinangor, 11 November 2017
---Masa Kami---
(Oleh: Usi Supinar)

Kumandang adzan saat terlahir di dunia,
kami menangis
Kumandang adzan di masa belia,
kami berbondong bergegas mengaji
Kumandang adzan di usia remaja,
kami sejenak hentikan bicara
Kumandang adzan di usia tua,
mungkin kami terus bekerja
Kumandang adzan di akhir hayat,
apakah masih ada taubat dalam asa?

Alunan itu tak ayal hanya dianggap sekedar melodi pengantar angin dari masa ke masa bagi insan tak tahu diri,
Diri yang tak ingat mati.

Maaf atas khilafku duhai diri
Khilaf t'lah lumpuhkan Hati
Maaf atas sibukku pada dunia ini
Sibuk t'lah matikan peka pada Illahi.
Maaf atas gila menduakan-Mu.
Wahai Rabb-ku.

BuahPenaUsiSupinar
(Jatinangor, Bada Ashar 22 Oktober 2017)

Selasa, 10 Oktober 2017

---Kapan kau akhiri?---
(Oleh: Usi Supinar)

Adzan subuh berkumandang..
Sejuknya angin kaki gunung depan jendela kamar, mengiringi pagi mengundang.
Ayat suci terlantun indah di kamar sebelah,
Mereka beribadah dengan giat penuh Lillah.

Lantas, mengapa aku belum tergugah??
Antara resah Dan gundah.
Semua berkecamuk mengiringi lelah.
Lelah pikirku. Mengapa diri belum juga mengerti???
Semakin ia bertanya,
Kapan kau sadar duhai diri yang penuh dengki???
Kapan kau akhiri sakiti nurani???
Kapan kau buat hati menjadi suci???
Kapan kau turuti akal dan naluri???
Kapan kau kasihani batin yang haus akan Illahi???

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
IG: usi_supinar
(Jatinangor, 22 Juli 2017)
---Ketika Kurasa Sakit ini---
(Oleh: Usi Supinar)

Langkahku mulai melemah ketika aku tiba di persimpangan jalan ini...
Kakiku tertusuk duri yang tak bisa dipungkiri ia telah menancapkan sakit di hati.
Mungkin akibat langkahku yang salah hingga sakit itu masih terasa kini.
Tanganku tersabit pisau hingga perihnya menyayat hati.
Mungkin atas kecerobohanku dalam berbuat hingga membuat rasa semakin tercabik kini.
Mataku Panas dan kering hingga menggersangkan hati.
Mungkin Karena ia tak bisa dijaga sampai tangis pun tak lagi mengeluarkan air mata kini.

Kini kusadari, dan terucap ungkapan sakit ini...
Maafkan atas kegilaan tubuh dan hati  ini Ya Rabb.
Bukankah Engkau Maha Agung! Tunjukan keagungan-Mu.
Engkau Maha Besar. Maka tunjukan kebesaran-Mu.
Pun... Engkau Maha Esa. Mohon tunjukan Keesaan-Mu.

Hanya kepada-Mu. Dan jangan buat aku berpaling dari-Mu.
Sungguh... Aku lelah tanpa-Mu. Datangkan aku seorang yang bisa menguatkanku.
Sungguh... hanya Engkau Yang Mampu Kuatkan aku.

BuahPenaUsiSupinar.blogspot.com
IG: usi_supinar
(Jatinangor, 9 Oktober 2017)
---Dalam Menunggumu---
(Oleh: Usi Supinar)

Rintik hujan basahi biru jilbabku.
Ia menyatu dengan tangis dan haru.
Udara dingin pun menyusup pada tulang rusukmu.
Ia menyatu dengan detak kaku cemburu.

Kemana rasa ini harus kuungkapkan??
Aku lelah tanpa sandaran
Aku tak berdaya tanpa penopang

Lekaslah tiba duhai penguat jiwa
Aku menunggumu pun dengan sepenuhnya jiwa

Masa ini kutunggu kehadiranmu meyakinkan masa depanku.

(Jatinangor, 9 Oktober 2017)
---Sombong dengan Kebusukan---
Oleh: Usi Supinar

Aku lelah... Langkahku mulai melemah
Aku letih... Nafaskupun semakin perih
Adakah yang mampu kuatkan langkahku??
Adalah aku yang tak sanggup lagi menapaki penderitaan ini...

Kekecewaan itu hinggap hilir berganti, aku malu. Mengapa mereka mencibirku. Seakan akulah bahan celaan Hina mereka.
Kuakui.. aku hina di mata-Nya. Tapi apakah hanya aku???
Bukankah manusia tempat salah dan lupa.
Tak ayal tempat sampah, pastinya berisi sampah.
Kita hina. Tapi congkak dengan kehinaan itu.
Kita busuk. Tapi sombong dengan kebusukan itu.
Tak punya malukah kita???

(Jatinangor, 6 Oktober 2017) 18.11

Sabtu, 07 Oktober 2017

Adakah yang Mampu Meredam???
(Oleh: Usi Supinar)

Larut malam menenggelamkan kelamku
Tidak.
Ia tak mampu sedikitpun menutupi luka
Yang kurasa justru lukaku semakin menganga
Desir angin malam pun nampaknya tak mampu hembuskan kesejukan sedikitpun
Terlalu dingin mungkin.
Maka angin tak sanggup tepiskan luka

Terkadang aku bingung
Mengapa Tuhan ciptakan rasa dengki di hati setiap hamba-Nya?
Sedang seorang hamba disini tak sanggup disesakkan rasa itu
Kurasa aku mulai terseret dalam kemunafikkan jiwa
Berpura-pura tegar dihadapan setiap lawan bicara
Namun hati dan rasa tercabik dalam derita
Setiap saat ia tertusuk oleh hentakan emosi yang meluap
Ia tak sanggup menahan setiap tekanan yang menghimpit ruangnya
Mungkin esok atau lusa ia akan kembali meledak
Mengalirkan lahar dari luapan emosi dan penderitaan
Adakah lawan bicara yang mampu meredam ledakannya?

(Jatinangor, 08 Oktober 2017)

Sisa Mereka
Oleh: Usi Supinar
Mereka
Ombak yang saling berkejaran
Menghempaskan asa dan harapan
Mereka
Angin ribut yang porakporandakan
Menghancurkan keabadian
Mereka
Arus yang menggerus batang peradaban
Menyisakan sampah kenistaan

(Laut Pulau Pari, 4 Juni 2016)
Hanya Teritip
Oleh: Usi Supinar

Pasir di dasar laut terkeruk keserakahan ganasnya cantrang
Sisa bongkahan karang tak lagi kuat mencengkram bumi
Lamun terhempas terseret arus kemunafikan
Mangrove pun tak lagi sarangkan burung, kepiting dan udang
Tak sisakan ikan glodok
Mungkin dugong tak sudi singgah di lautku?
Hanya teritip yang tersisa
Menempel, bahkan merekat di bongkahan badan kapal terdampar
Tak lagi menempel benthos di lautku?
Tak lagi terbawa arus plankton di zona lateral lautku?
Tak lagi berenang nekton di wilayah pelagis lautku?

Sangat miris!
Sungguh...
Ini menyakitkanku
Sangat menusuk qolbu
Bagaimana tidak?
Nelayan tak lagi sisakan harapan
Bangsa ini di ambang kehancuran

(Laut Pulau Pari, 3 Juni 2016)
Langit Kelam di Atas Laut Biru Tak Berangan
Oleh: Usi Supinar

Berlayar aku dalam alunan nada-nada hayalan indah
Ditemani angin lembut meraba bulu roma
Diikuti ombak gemericak membasahi sampan harapan

Bongkahan kapal-kapal pesiar terbengkalai di tepi pantai
Tertumpuk semunya masa lalu yang mulai rapuh
Terhempas air dari muara sungai
Membasahi kapal yang semakin lusuh
Nelayan tersenyum berseringai
Tak lagi tercium aroma bau lusuh
Kerna mereka t’lah tinggalkan harapan
Kerna mereka tak lagi sisakan angan

Langit biru di penghujung siang tak tampak tergantikan oleh terang
Ia kelam meski matahari tak kunjung tenggelam
Ia hitam bak tertutupi awan muram
Pun langit biru t’lah hiasi pagi sampaikan pesan tanpa harapan menuju petang
Ia legam terselimuti langit yang mulai kusam
Ia nampak semakin muram tak terpancar sinar harapan
Nelayan pun terlanjur duka
Tak tersisa asa

(Laut Pulau Pari, 3 Juni 2016)

Jumat, 06 Oktober 2017

---Sombong dengan Kebusukan---
Oleh: Usi Supinar

Aku lelah... Langkahku mulai melemah
Aku letih... Nafaskupun semakin perih
Adakah yang mampu kuatkan langkahku??
Adalah aku yang tak sanggup lagi menapaki penderitaan ini...

Kekecewaan itu hinggap hilir berganti, aku malu. Mengapa mereka mencibirku. Seakan akulah bahan celaan Hina mereka.
Kuakui.. aku hina di mata-Nya. Tapi apakah hanya aku???
Bukankah manusia tempat salah dan lupa.
Tak ayal tempat sampah, pastinya berisi sampah.
Kita hina. Tapi congkak dengan kehinaan itu.
Kita busuk. Tapi sombong dengan kebusukan itu.
Tak punya malukah kita???

(Jatinangor, 6 Oktober 2017) 18.11

Selasa, 26 September 2017

Masih adakah Kau untukku???
Buah Pena: Usi Supinar

Aku tak tahu, berapa ribu maaf yang harus kuucap
Aku tak faham, berapa lama aku harus memohon ampunan
Bahkan.. aku tak mengerti, mengapa aku tak punya malu telah melakukan ini yang jelas-jelas Kau tahu. Ini salah. Ini jahat. Ini biadab!

Kini aku hanya bisa menyesal
Menahan nafas tersenggal
Memaki
Meratapi semua yang telah terjadi
Menghujat
Mengoyak amarah sisa maksiat

Mengapa tak Kau tunjukan kemarahanMu kepadaku saat ini juga?
Apa karena Kau bosan marah kepadaku?
Atau sudah tak Kau anggap lagi posisiku sebagai hamba-Mu?
Mungkin Kau t’lah lupakan aku?
Saking besar dan banyaknya kealfaanku, sehingga menutupi pandangan-Mu kepada-Ku. Manusia yang tak tahu diri ini. Manusia yang tak tahu malu ini. Manusia yang terus menerus dan terus melakukan dosa demi dosa. Demi kepuasan nafsu belaka. Demi mengekar fatamorgana.
Gila kurasa!
Aku telah gila dibuai bayang-bayang indahnya dunia, yang bahkan aku tak tahu di sebelah mana ujung dari keindahan ini. Kebiadaban ini.

Seandainya Kau masih pedulikan aku. Apakah Kau tak akan berpaling dariku?
Aku malu...
Aku malu Jika Kau terus menatapku, dalam keadaan aku masih berbalut kemunafikan. Kebiadaban.
Aku ragu...
Aku ragu apakah Kau masih ada untukku? Membiarkanku berada di tepi jurang penderitaan.
Aku... takut!
Takut... Kau tak akan menolongku...di detik terakhir...langkah... menuju jurang curam itu,


Jatinangor, 11 Juni 20017


Gunung Dosaku
Buah Pena: Usi Supinar


Air mengalir dalam wudlu mungkin tak mampu sucikan kembali segala noda
Desir nadi berdzikir mungkin tak sanggup hapuskan segala dosa
Pegal dan lelah menempelkan wajah ke bumi dalam sujud mungkin hanya sepi yang menjadi saksi
Kata demi kata dalam alunan ayat suci mungkin hanya sekedar suara yang tak sekedarpun menggetarkan nurani

Aku malu, Ya Robbi.
Betapa luput dosa dan khilapku
Menghujam nadi mencabik qolbu
Betapa rendah amal nan shalehku
Menutup lupapun ia tak mampu
Sungguh…
Betapa hina diri ini
Penuh dosa,
Penuh noda,
Penuh khilaf dan kemunafikan.

Akankah serpihan dzikirku mengingat nama-Mu menjulangkan neraca di yaumil hisab?
Aku takut gunung dosa di masa lalu itu memberatkan dawai sebelah kiri sehingga aku tak layak melanjutkan langkah.
Akankah sedikit amalku dapat mengokohkan langkah melewati curamnya shirotolmustaqim?
Aku takut licinnya akal nakalku di masa lalu itu membuatku tergelincir, terperosok ke dalam jurang jahannam.

Aku malu.. sungguh malu…
Bukan hanya sekedar dengan makhluk-Mu
Tapi kepadamu, yang setiap detik melihat, menatap, menyaksikan dan memperhatikan naluri busukku.
Sungguh.. maafkan aku, Ya Robbi.


Jatinangor, 22 Agustus 2017

Sabtu, 23 September 2017

Terseret Kemunafikan
(Oleh: Usi Supinar)

Larut malam menenggelamkan kelamku
Tidak.
Ia tak mampu sedikitpun menutupi luka
Yang kurassa justru lukaku semakin menganga
Desir angin malam pun nampaknya tak mampu hembuskan kesejukan sedikitpun
Terlalu dingin mungkin.
Maka angin tak sanggup tepiskan luka

Terkadang aku bingung
Mengapa Tuhan ciptakan rasa dengki di hati setiap hamba-Nya?
Sedang seorang hamba disini tak sanggup disesakkkan rasa itu
Kurasa aku mulai terseret dalam kemunafikkan jiwa
Berpura-pura tegar dihadapan setiap lawan bicara
Namun hati dan rasa tercabik dalam derita
Setiap saat ia tertusuk oleh hentakan emosi yang meluap
Ia tak sanggup menahan setiap tekanan yang menghimpit ruangnya
Mungkin esok atau lusa ia akan kembali meledak
Mengalirkan lahar dari luapan emosi dan penderitaan
Adakah lawan bicara yang mampu meredam ledakannya?
Terseret di Halaman Rumahku
Oleh: Usi Supinar

Kemarin, sambil duduk di halaman rumahku angin redup nan sejuk menggelitik qolbuku
Sekarang, dengan berdiri di halaman ini angin gersang nan muram nyaris mengejarku
Esok kutakutkan, halaman itu akan gelap nan kelam membuatku tersandung hingga terjatuh

Membentang pagar amarah di ujung barat dan selatan. Menghalang harapan demi harapan
Menghimpit narasi demi narasi tak berarti. Memekik betapa pahit emansipasi negeri ini
Katanya... Aku telah merdeka. Nyatanya... Aku masih tersiksa dalam pengapnya tawa
Katanya... Aku berhak memilih beribu cita-cita. Nyatanya... Berkatapun aku tak kuasa

Benarkah di halaman rumahku ini tengah menggarap perang ideologi?
Demi mengolah ladang kapitalis?
Memporakporandakan lahan komunis dan islam, Menukarkan agama dan moral
Dengan pemboikotan serangan pemikiran
Aku merasa terseret oleh kontener-kontener pengangkut hasil ladang kapitalis
Halaman rumahku kini terjajah, meski tanpa pengiriman pasukan militer
Aku khawatir... Akankah terjadi depopulasi di halaman rumahku?

Maaf. Tak ada maksud kulukai hati dan perasaanmu, wahai penguasa bangsa
Aku hanya berusaha ungkapan betapa gersang halaman rumahku yang tak kunjung mereda
Maaf. Tak tega aku melihat halaman rumahku terbakar, meregang kesakitan
Sedang tuan rumah di dalamnya terseok terbawa angin gersang musim kemarau di ladang kapitalisme

(Sumedang, 11 Mei 2016)

Minggu, 09 Juli 2017

MASIH. MAAF.

Alur dan jalur tak kunjung berujung untung
Hanya murung yang terus mengurung
Maaf. Hati dan rasa tak lagi senada
Ia luka. Ia tercabik. Tak berbentuk. Tak berupa. Semua fana. Semua gila.
Penuh Dilema! Tak berujung.

Maaf. Ia bukan si tangguh yang kokoh dengan tegapnya.
Ia hanya sosok lesu tak berdaya. terlebih. tak ada lagi asa dan harapan.
Maaf. Ia bukan si lantang dengan kuat mampu meneriakkan suaranya.
Ia hanya sosok lemah tak bergairah, terlebih. tak ada yang sanggup menenangkan.

Kini ia terpuruk. amarahnya berkecamuk, tanpa ada yang mampu meredam.
Kini ia tersungkur. sakitnya menyucuk, tak mampu berfikir. apa yang harus dan akan ia lakukan.
Maaf. kini ia rapuh. Maaf.
Sekali lagi. Maaf.
Masih. Maaf.
MAAF.
Kini.. aku tengah berada dalam batas kegundahan.. ragu dengan apa yang sudah, sedang dan akan terjadi.
Mengapa Tuhan berikan pilihan? Sedang untuk memilihpun logika tak berdaya.
Ia hanya mampu meratap dalam gundah..
Akal dan nalar kian memudar, enggan manapaki alur yang bungkam tak sedikitpun memberi celah dan kesempatan.
Gundah ini pudarkan harapan.
Perlahan harap raib tersapu gundah.
Tak tersisa.
Gundah tak bisa tuai pilihan.




Kamis, 13 April 2017

Kau Tumpahkan Kopi Hitam Pekat Tepat di Wajahku
Oleh: Usi Supinar
(dalam Rasa Dalam Secangkir Kopi. 2016. Mawar Publisher)

Bismillah...

Pekat melekat tetap tak terelak
Hitam kelam menerkam seram

Secangkir kopi hitam legam yang kau suguhkan sore tadi
Menarik perhatianku ‘tuk sekedar mencicipinya
Andai desir  nadiku mungkin mengerti
Pasti ia tak mungkin menyangkal
Bahwa kopi hitam legam itu lekatkan pahit
Bahwa kopi hitam legam itu rekatkan sulit
Bahwa kopi hitam legam itu pekatkan sakit
Bahwa kopi hitam legam itu ‘kan tertumpah di wajahku

Pekatnya menggelapkan masa depan dan harapan
Terbayang pagar penghalang kegelapan di barat dan selatan membentang
Pahitnya biaskan kesakitan dalam nestapa
Tak terbayang warna dan rasa dalam senyuman
Hanya rupakah?
Apakah hanya tampak rupa saja?
Jika senyum hanyalah rupa, bahagia bukanlah nyata
Jika tangis hanyalah rupa, luka adalah nyata

Mengapa bukan kopi mocha dengan nikmatnya kelembutan coklat
            Atau cappucino yang mentuhankan kesempurnaan
            Mungkin frappe yang dingin namun menggelitik
            Sampai expresso dengan kemegahan indahnya susu
            Bahkan latte yang setia membelai penuh kelembutan
Mengapa tak itu semua yang kau suguhkan padaku?
Mengapa harus si hitam kelam yang kini menutupi rupa dan parasku?

Tegakah kau tumpahkan kesuraman dalam masa depanku?
Kurasa...
Tak mungkin kusanggup menjilati tetes dami tetes kepahitan ini

(Sumedang, 09 Mei 2016)

Puisi Meracuniku
Oleh: Usi Supinar
(dalam Sajak-Sajak Anak Negeri Indonesia Berkreasi Tanpa Batas 3.
2016. Penerbit Rumah Kita)

Bismillah...

Mengukir mimpi dalam puisi
Menoreh asa dalam sajak
Meniti misteri didekap puisi
Menguak rasa ditengadah sajak
            Mengapa puisi sakitkan aku tertusuk mencucuk rusuk?
            Mengapa puisi senangkan aku tergirang menerang belulang??
            Mengapa???
Aku hidup bersama puisi, karna ia ‘tlah bangkitkan harapanku
Aku mati tanpa puisi, karna ia tak singgah di hatiku
Puisi ‘tlah racuni aku, ia melecut, ia meletup, ia memagut, ia tegak merentak di qolbuku

Sumedang, 29 Maret 2016